Kisal rasul terhadap ilmu

 Akhlak yang baik (akhlaq al-karimah) merupakan prasyarat mutlak yang menentukan derajat seseorang. Akhlak berkaitan dengan soal bagaimana seseorang menuntut ilmu-ilmu dan menerapkannya dalam kehidupan. Seorang Muslim yang baik mencintai ilmu tanpa harus bersikap sombong lantaran telah merasa lebih mengetahui. Dalam konteks inilah, sosok Rasulullah SAW dapat dipandang sebagai figur yang paripurna.


Dalam artikelnya pada Jurnal Ijtimaiyya (Februari, 2014), Deden Makbuloh menulis bahwa Rasulullah SAW telah mencapai puncak keilmuan. Sebagai utusan Allah, Beliau mengetahui hukum Alquran sampai sedetail-detailnya kemudian menyampaikan serta menjelaskannya kepada manusia. Oleh karena itu, Rasulullah SAW merupakan teladan sekaligus sumber rujukan utama dan pertama bagi segenap kaum Muslimin, baik yang hidup sezaman dengannya maupun generasi-generasi kemudian.


Dalam sebuah hadis riwayat at-Thabrani, Nabi Muhammad SAW mengimbau segenap kaum Muslim, "Jadilah engkau orang yang berilmu atau orang yang belajar, atau orang yang mau mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima, maka kamu akan binasa".



Sebagai sumber ilmu-ilmu agama Islam, Rasulullah SAW menumbuhkan dan mengembangkan sunnah sebagai referensi bagi kehidupan umat manusia hingga akhir zaman. Rasulullah SAW mendidik umatnya melalui sunnah agar mereka selamat di dunia dan akhirat.


Sebagai pendidik, papar Makbuloh, Nabi Muhammad SAW menerapkan sejumlah prinsip yang dapat ditiru oleh orang-orang saat ini. Pertama, kemudahan akses. Rasulullah SAW hidup berbaur dengan umatnya, baik di Makkah, Madinah, atau di daerah manapun yang sempat disinggahi Beliau. Dalam memberikan pengajaran, Rasulullah SAW tidak menempatkan hijab antara diri beliau dan para sahabat.


Nabi SAW juga tidak pernah menghalangi seseorang dari menjumpai Beliau hanya lantaran status sosialnya. Malahan, Rasulullah SAW memilih tempat-tempat yang strategis sebagai lokasi majelis ilmu. Makbuloh mencontohkan, Rasulullah SAW sempat memakai rumah seorang sahabatnya, al-Arqam, sebagai tempatnya mengajarkan Alquran ketika di Makkah.


Saat itu, Islam masih disebarluaskan dengan cara sembunyi-sembunyi demi menghindari konflik terbuka dengan kaum musyrik. Tidak jarang pula rumah Nabi Muhammad SAW sendiri yang menjadi lokasi majelis. Ketika Islam mulai kukuh, utamanya selama di Madinah, masjid menjadi lokasi yang lebih kerap dipilih Nabi SAW sebagai tempatnya mengajarkan Alquran serta menyampaikan pesan-pesan. Biasanya, kegiatan ini dimulai setelah pelaksanaan shalat berjamaah.


Kedua, keanekaan peran. Kadangkala, Rasulullah SAW tidak cukup hanya berperan an sich sebagai pendidik. Seringpula, beliau menjalankan fungsi selaku hakim, pemberi saran, atau pemimpin yang memberikan instruksi. Ini semua bergantung pada konteks keadaan dan persoalan yang sampai kepadanya.


Seturut dengan itu adalah prinsip ketiga, yakni efektivitas. Rasulullah SAW selalu peka terhadap kapasitas lawan bicaranya. Beliau berbicara dengan memerhatikan kadar kemampuan akal mereka. Sebab, tiap orang memiliki tingkat pengetahuan dan konteks yang berbeda-beda. Dengan memerhatikan hal itu, penyampaian ilmu atau pesan-pesan tidak akan menimbulkan kesalahpahaman.


Makbuloh menjelaskan, Rasulullah SAW selalu mempertimbangkan perbedaan kadar tiap lawan bicaranya.Kepada orang yang dinilai cerdas, beliau cukup menggunakan isyarat. Adapun dengan orang yang daya tangkapnya terbatas, maka Beliau menjelaskan dengan contoh-contoh yang lebih konkret.


Sebagai contoh, tulis Makbuloh, adalah sebuah hadits riwayat dari Abu Hurairah: Seorang laki-laki dari Bani Fazarah datang kepada Nabi SAW, kemudian berkata: Istriku melahirkan seorang anak yang berkulit hitam dan aku tidak mengakui anak itu. Rasulullah SAW bertanya: Engkau mempunyai unta? Ia menjawab: Ya. Beliau bertanya lagi: apa warna kulit untamu itu? Ia menjawab: Merah. Beliau bertanya: Apakah pada kulitnya terdapat warna kelabu hitam-hitam? Ia menjawab: Ya. Beliau bertanya lagi: Dari mana warna itu? Ia menjawab: Mungkin warna itu berasal dari keturunannya. Maka beliau berkata: Inipun (anak lelaki Bani Fazarah itu --Red) mungkin saja berasal dari keturunannya.


Rasulullah SAW juga selalu hati-hati dalam menentukan sikap. Bila suatu kejadian belum mendapatkan hukumnya berdasarkan firman Allah, maka Beliau lebih memilih diam hingga mendapatkan petunjuk dari-Nya. Bila sudah ada hukumnya, maka penerapan yang paling mudah dan sesuai itulah yang dipilih Beliau. Dalam sebuah hadis yang terhimpun Musnad Imam Ahmad, Rasulullah SAW bersabda, "Ajarkanlah, permudahlah dan jangan mempersulit".


Keempat, kesabaran. Hal ini terutama berkaitan dengan cara Alquran diturunkan Allah kepada Nabi SAW melalui Malaikat Jibril. Kitab Suci ini sampai secara berangsur-angsur, tidak seketika utuh. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengajarkan Alquran dan menerapkannya seiring dengan tahapan-tahapan turunnya Alquran itu. Proses pengajaran ini memerlukan waktu yang panjang dan daya juang yang tinggi.


Kelima, hubungan yang erat. Meskipun berkedudukan amat mulia, baik di tengah umat manusia maupun di hadapan Allah, Rasulullah SAW menyukai kerendahan hati. Sebab, itulah kunci untuk menjalin komunikasi dan relasi yang baik dengan siapapun. Dengan demikian, pengajaran ilmu pengetahuan akan lebih diterima dengan simpati dan mendapatkan khalayak yang semakin luas.


Keenam, menghindari kecenderungan monoton. Adalah wajar bagi seseorang untuk bosan dalam menghadapi rutinitas. Oleh karena itu, Rasulullah SAW membuat pengajarannya secara variatif. Selain untuk mengelak dari kebosanan, cara ini juga berfungsi membuat para pendengarnya lebih terkesan. Makbuloh mengutip hadis riwayat Ibnu Masud: Nabi SAW memilih hari-hari tertentu untuk menyampaikan mauidzah kepada kami karena beliau khawatir kami merasa bosan.


Segenap prinsip pengajaran itu dapat bermuara pada fungsi akhlak di tengah manusia. Betapa pentingnya persoalan akhlak ini di atas ilmu. Sekalipun, umpamanya, yang disampaikan seseorang itu hanyalah ilmu sains murni tetapi cara pengajarannya dengan akhlak, maka itu lebih bernilai islami karena sesuai dengan keteladanan Rasulullah SAW. Apatah dengan pengajaran ilmu-ilmu agama.


Oleh karena itu, cakrawala keilmuan seorang ulama hendaknya berbanding lurus dengan keluhuran budi pekerti yang bersangkutan di tengah masyarakat. Bila tidak demikian, ulama tersebut dapat dikatakan belum utuh mengikuti akhlak Rasulullah SAW.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu Qada dan Qadar?

Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Rububiyah

Kesadaran Manusia yang Kurang Akan Kebersihan Di Semarang