Mata Rantai Evolusi Agama

 Pengertian

        Perubahan keagamaan dari masa kemasa dalam jangka waktu yang lambat, seperti Polytheisme di hubungkan dengan dinamisme (pemujaan terhadap benda yang dianggap memiliki kekuatan magis) dan animisme (kepercayaan terhadap roh para leluhur), lalu di lanjut dengan masa Nabi Ibrahim as yang dipanggil dengan sebutan bapak para nabi karna pada masa Nabi Nuh banyak korban berjatuhan karna terjadinya banjir besar di jaman Nabi Nuh as sehingga beberapa keturunan terlah terputus setelah itu lahir lah Nabi Ibrahim yang memiliki anak ya itu Nabi Ismail dan Nabi Isaq yang kini berlanjut hingga masa Nabi Muhammad saw.

        Agama Islam  adalah kelanjutan dari zaman Nabi Adam as yang, jadi agama Islam tidak mengalami evolusi dari zaman ke zaman, dari zaman Nabi Muhammad hingga kini isinya sama dari perintah hingga larangan larangan yang masih kokoh di pertahankan

Evolusi agama dalam kerangka teoritis dan sebagai tipe-tipe ideal dapat diamati dalam dinamika dan perkembangannya secara historis yang dikelompokkan ke dalam beberapa fase berikut: "Agama Primitif", "Agama Arkaik", "Agama historik", "Agama Pra-Modern", dan "Agama Modern".

  1. Agama Primitif

Simbolisasi keagamaan berpusat pada the dreaming, waktu di luar waktu, everywhen (Stanner), yang dihuni oleh roh-roh nenek moyang, sebagian manusia dan sebagian hewan. Mereka dianggap heroik dan memiliki kemampuan di luar kemampuan manusia biasa; menjadi pemelihara banyak hal di dunia, namun mereka bukan tuhan, karena tidak dapat mengontrol dunia dan tidak disembah.

Tindakan keagamaan primitif ditandai melalui identifikasi, partisipasi dan tindakan. Karena sistim simbol primitif adalah mite par excellence, maka tindakan keagamaan primitif adalah ritual par excellence. Dalam ritual, penganut mengidentifikasikan diri dengan makhluk-makhluk mitis yang mereka representasikan. Tidak ada pendeta dan kongregasi, tidak ada peranan representasi yang menjadi perantara dan tidak ada penonton. Semua yang hadir terlibat dalam tindakan ritual dan menjadi satu dengan mite.

Organisasi keagamaan pada taraf agama primitif adalah satu -antara masyarakat dan organisasi keagamaan. Tidak ada atau dikenal sistim pemisahan struktur sosial. Peranan-peranan keagamaan cenderung menjadi satu dengan peranan-peranan lain, dan diferensiasi sepanjang usia, jenis kelamin dan kelompok kerabat adalah amat penting. Wanita tidak dikeluarkan dari kehidupan keagamaan, dan pada tingkat tertentu terpisah dan terpusat pada masa-masa krisis dalam kehidupan wanita khususnya. Pada kebanyakan masyarakat primitif usia adalah kriteria penting bagi kepemimpinan dalam upacara.

  1. Agama Arkaik

Gambaran khas agama arkaik adalah munculnya cult murni dengan sejumlah dewa, pendeta, persembahan, kurban, dan beberapa kasus kerajaan para ahli agama. Mite dan kompleks ritual yang menjadi ciri khas agama primitif terus hidup dalam struktur agama arkaik tetapi sistematisasi dan dirinci dengan cara-cara yang lebih baru.

Simbolisasi agama arkaik, makhluk-makhluk mitis lebih dilihat sebagai makhluk-makhluk yang memiliki sifat-sifat yang jelas. Makhluk-makhluk mitis lebih diobjektivakasi, dianggap aktif dan penuh kehendak mengontrol alam dan dunia manusia dan sebagai makhluk kepada siapa manusia harus berhubungan dengan cara yang pasti dan mempunyai tujuan yang dengan satu kata mereka menjadi tuhan. Hubungan-hubungan di antara tuhan-tuhan itu sendiri adalah masalah spekulasi dan sistematisasi yang masuk akal, sehingga prinsip-prinsip organisasi yang pasti, khususnya hirarki kontrol dapat ditegakkan. Pandangan dunia yang mendasar, seperti halnya masyarakat primitif tetap monistik.

Tindakan keagamaan arkaik berbentuk cult di mana perbedaan antara manusia yang subjek dan tuhan sebagai objek jauh lebih jelas daripada agama primitif. Persembahan dan kurban merupakan sistem komunikasi. Melalui tindakan keagamaan yang lebih terdiferensiasi suatu tingkat kebebasan yang baru mempengaruhi hubungan antara manusia dan kondisi-kondisi akhir keberadaannya.

Organisasi keagaman arkaik tetap berfusi dengan struktur-struktur sosial yang lain, tetapi proliferasi kelompok-kelompok yang berdiferensiasi secara fungsional dan hirarkis menimbulkan semakin banyak cult, karena setiap kelompok arkaik cenderung memiliki cultnya sendiri. Batas yang paling bermakna dalam organisasi keagamaan arkaik adalah kegagalan membentuk kolektif-kolektif keagamaan yang berdiferensiasi termasuk para penganut dan ahli-ahli agamanya.

Implikasi sosial agama arkaik, individu dan masyarakatnya dilihat terpadu dalam kosmos ketuhanan yang bersifat alamiah. Struktur-struktur tradisional dan praktek-praktek sosial dianggap berakar dalam keteraturan kosmos yang dipranatakan dalam ketuhanan dan ada sedikit ketegangan antara tuntutan keagamaan dan konformiti sosial. Adanya masalah-masalah yang timbul karena rasionalisasi agama atau perubahan politik, mode-mode pemikiran agama yang baru menjadi terbuka. Misalnya, hal ini merupakan aspek penting dalam sejarah pembentukan Israel dan juga dalam kasus-kasus lainnya.

  1. Agama Historis

Agama historis muncul dalam masyarakat yang sudah bisa membaca. Agama-agama historis semuanya dalam hal-hal tertentu transendental. Monisme kosmologis tahap sebelumnya kini kurang lebih sepenuhnya terpecah-pecah dan bidang yang sepenuhnya berbeda dari kenyataan semesta, memberikan nilai tertinggi bagi manusia yang religius kini dinyatakan. Penemuan bidang yang sepenuhnya berbeda dari kenyataan agama nampaknya mensiratkan sikap merendahkan nilai kosmos empiris yang sudah ada.

Sistem-sitem simbol dari agama-agama sejarah sangat berbeda satu sama lain tetapi memiliki unsur transenden yang membedakannya dari agama arkaik; dalam hal ini agama-agama bersifat dualistik. Penekanan pada ciri pengaturan hirarkis dari agama-agama arkaik terus dipertahankan pada sebagian besar agama historis. Unsur keagamaan dalam kehidupan yang terpusat pada aspek kehidupan lain, yang bisa superior tak terbatas, atau di bawah kondisi-kondisi tertentu melahirkan berbagai konsepsi mengenai neraka, buruk tak terbatas. Dari sudut pandangan agama sejarah, manusia tidak lagi didefinisikan dalam konteks suku atau klan dari mana ia berasal, melainkan sebagai makhluk yang mampu mencapai keselamatan. Jadi, dapat dikatakan bahwa di sinilah untuk pertama kali manusia dilihat sebagai manusia itu sendiri.

Tindakan keagamaan dalam agama-agama sejarah merupakan tindakan yang dilakukan untuk mencapai keselamatan. Agama sejarah menuntut manusia yang berbuat kesalahan yang mendasar jauh lebih serius daripada yang dikonsepsikan oleh agama-agama sebelumnya. Agama-agama sejarah sejak pertama kali telah menjanjikan umat manusia bahwa agama-agama tersebut bisa memahami struktur dasar dari kenyataan dan melalui keselamatan itu ia berpartisipasi aktif di dalamnya. Resiko besar dari kehidupan ideal agama-agama sejarah adalah cenderung terpisah dari dunia.

Implikasi sosial dari agama sejarah tersirat dalam ciri-ciri organisasi-organisasi keagamaan. Diferensiasi elit agama menciptakan suatu ketegangan sosial yang baru dan kemungkinan konflik yang baru dan perubahan dalam konteks sosialnya. Agama membekali ideologi dan kohesi sosial bagi banyak pertentangan dan gerakan-gerakan reformasi dalam peradaban sejarah, serta akibatnya memainkan peranan yang lebih dinamik dan khususnya lebih bertujuan dalam perubahan sosial dibandingkan dengan yang barangkali ada sebelumnya. Juga sebagaian besar peradaban sejarah untuk jangka waktu yang lama, agama menjalankan fungsi-fungsi keabsahan dan diwujudkannya keteraturan sosial.

  1. Agama Pra Modern

Karakteristik agama pra-modern adalah lenyapnya hirarkis yang menstrukturkan dunia dan akhirat. Tipe ideal ini yang merupakan agama pra modern yakni Reformasi Protestan. Dualisme agama sejarah tetap menjadi gambaran pra modern tetapi memiliki makna yang baru dalam konteks konfrontasi yang lebih langsung antara kedua dunia itu. Di dalam keadaan-keadaan yang baru tadi keselamatan tidaklah ditemukan dalam semacam penarikan diri dari dunia melainkan dalam kancah kegiatan keduniawian. Pada prinsipnya apa yang terjadi pada Reformasi dengan unsur-unsur masa lampau masih dipertahankan sebagian, adalah menerobos seluruh sitem media menuju Keselamatan dan menyatakan bahwa Keselamatan secara potensial ada pada tiap-tiap orang, tidak soal siapapun orangnya.

Simbolisasi agama pra modern berpusat pada hubungan langsung antara individu dan kenyataan transendental. Sejumlah besar unsur kosmologi Kristen kuno merosot menjadi takhayul. Reformasi mendorong terwujudnya tindakan otonomi positif di dunia ketimbang membina saja takdir secara pasif.

Tindakan keagamaan kini dikonsepsikan sebagai identik dengan keseluruhan kehidupan. Praktek-praktek keagamaan tertentu dan ketaatan mengalami kemerosotan di samping peranan-peranan monastik yang khusus di dalamnya dan sebagai gantinya pemujaan tuhan adalah tuntutan total dalam setiap langkah kehidupan. Penekanannya lebih pada keyakinan, suatu kualiti internal seseorang, ketimbang tindakan-tindakan khusus yang jelas disebut religius. Dengan menerima dunia tidak sebagaimana adanya melainkan sebagai arena yang sahih di mana perintah tuhan berlangsung, dan menganggap self sebagai kemampuan, Reformasi memberi peluang untuk berpaling dari penolakan terhadap dunia.

Dalam organisasi keagamaan ia tidak hanya menolak otoritas Paus, tetapi juga menolak bentuk baru perbedaan agama antara dua tingkat relatif kesempurnaan agama. Sebagai gantinya adalah semacam dua kelas yang baru yakni pembagian antara orang-orang yang terpilih dan yang tidak terpilih.

Implikasi sosial dari Reformasi Protestan termasuk salah satu subjek yang paling banyak diperdebatkan dalam ilmu sosial kontemporer. Analisis Weber, Merton dan yang lainnya, Reformasi Protestan secara keseluruhan banyak mempengaruhi perkembangan ekonomi hingga sampai ilmu pengetahuan, dari pendidikan sampai hukum.

  1. Agama Modern

Imanuel Kant telah menunjukkan bagaimana etika kehidupan dianggapnya lebih penting daripada metafisika dan kognitif, serta pendekatan tersebut memberi arah yang tegas mengenai agama modern. Seluruh analisa agama modern termasuk banyak bahan dari teologi yang sangat penting belakangan ini, meskipun menolak etika rasional Kant, telah menempatkan agama dalam struktur situasi kemanusiaan itu sendiri. Dalam pandangan dunia yang timbul dari kemajuan intelektual yang luar biasa dalam dua abad terakhir, hampir tidak ada ruang bagi sistem simbol agama yang berhirarki dualistik dalam tipe historis klasik. Hal ini tidaklah ditafsirkan sebagai titik balik kepada monisme primitif; bukan berarti bahwa dunia tunggal menggantikan dunia ganda; melainkan yang multipleks tak terbatas menggantikan struktur dupleks yang sederhana. Bukan pula kehidupan telah menjadi suatu kemungkinan tetapi menjadi kemungkinan yang tidak terbatas. Analisa manusia modern sebagai manusia sekuler, materialistik, tidak humanis, dan dalam pengertian tidak beragama adalah merupakan penafsiran yang salah, karena tidak didasarkan kepada patokan yang tidak bisa diukur secara tepat, apakah modern itu?

Agama modern merupakan situasi atau tepatnya karakteristik situasi yang baru dimana masalah besar dalam agama seperti telah didefinisikan di atas, simbolisasi hubungan dengan eksistensi kondisi-kondisi akhir keberadaannya tidak lagi menjadi monopoli kelompok tertentu yang terangan-terangan disebut religius.

Simbolisasi agama modern adalah kemampuan "self" untuk membangkitkan dinamika kembali dunia dan bentuk-bentuk yang amat simbolik di mana manusia saling berhubungan, bahkan bentuk-bentuk yang menunjukkan keberadaan manusia itu sendiri yang tidak dapat berubah. Dengan kata lain simbolisme keagamaan tradisional tetap dipertahankan dan berkembang dalam arah yang baru, tetapi manusia semakin menyadari simbolisme itu sendiri dan harus bertanggung jawab atas simbolisme yang diwujudkannya.

Tindakan keagamaan dalam masa modern merupakan kontinyuitas kecenderungan-kecenderungan yang sudah ada pada masa pra-modern. Tetapi kini manusia tidak lagi begitu menyandarkan diri pada agama untuk mencari makna kehidupannya. Aneka ragam gerakan lithurgical revival, psikologi pastoral dan penekanan-penekanan baru dalam tindakan sosial adalah semacam usaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang.

Manusia di jaman modern mulai menyadari untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Setiap individu, "prive" harus bekerja untuk kebaikan dirinya sendiri, dan agama hanya berfungsi menyediakan lingkungan yang sesuai untuk melakukan kebaikannya tanpa mencari jawaban atas serangkaian pertanyaan mengenai agama. Semakin disadari pula bahwa jawaban-jawaban atas pertanyaan agama dapat secara sahih dicari dalam berbagai lapangan pemikiran dan seni sekuler. Implikasi sosial dalam agama modern adalah kebudayaan dan kepribadian itu sendiri dianggap mampu memperbaiki diri sendiri secara terus menerus.

Kesimpulan. Dari perspektif evolusi agama, pertama, agama-agama akan mengalami evolusi terus menerus dalam sejarahnya yang menentukan dengan mengambil bentuk, ciri-corak dan ekspresinya sendiri, dan dipengaruhi oleh latar situasi dan kondisi geografis, ekonomi, politik dan sosial kebudayaannya masing-masing. Kedua, terdapat suatu nilai keberagamaan yang sama dalam homo religious dari manusia primitif sampai dengan manusia pada tingkat keberadaan manapun dan tidak sebaliknya menyatakan bahwa manusia primitif (agama non-historis) kurang atau lebih beragama daripada manusia modern (agama-historis)Ketiga, agama sebagai sistem simbolisasi yang terdiferensiasi dan kompleks tidak dianggap lebih baik, lebih benar, lebih absah, atau lebih indah dari simbolisasi agama pada manusia primitif. Oleh karena itu, adalah naf bagi orang yang menganut agama-agama sejarah yang lantas mengklaim dirinya sebagai pemilik agama dan Tuhan yang paling benar dan absah, kemudian menghakimi agama-agama non-historis serta pelbagai kepercayaan asli yang hidup dalam suku, budaya dan negara ini sebagai bukan agama atau agama yang salah, sesat dan kafir.

Keempat, bahwasannya baik orang-orang yang menganut agama yang disebut primitive-nonhistoris (agama suku, dan pelbagai aliran kepercayaan asli ) maupun agama paling modern-historis (Yahudi, Kristen, dan Islam) sekalipun, sejatinya sama-sama absah dan adequat, karena memiliki nilai-nilai kebenarannya sendiri yang unik (eksklusif), normatif dan definitif, justru dalam konfrontasinya dengan agama-agama dan kepercayaan yang lain karena proses evolusinya. Kelima, perbedaan yang terjadi dalam agama-agama karena suatu proses evolusi dari simbolisasi agama atau apa yang disebut oleh Clifford Gertz (1963) sebagai, keteraturan umum dari keberadaan, yang cenderung berubah sepanjang waktu, setidak-tidaknya dalam hal-hal tertentu, dalam arah yang lebih berdiferensiasi, mendalam, atau dalam perspektif Max Weber disebut formulasi yang dirasionalisasikan. Konsepsi-konsepsi tindakan keagamaan dan dari tempat agama dalam masyarakat cenderung berubah dengan cara sistematis dengan perubahan-perubahan dalam simbolisasinya. Keenam, dari proses evolusi tersebut, fase-fase perkembangan yang terjadi dapat dilihat sebagai kristalisasi yang relatif stabil dari kompleksitas yang secara umum memiliki keteraturan yang sama sepanjang dimensi-dimensi yang berbeda. Ketujuh, diskurus evolusi agama ini dapat menyumbangkan suatu yang bernilai bagi kehidupan beragama manusia modern untuk memahami diri dan keberagamaannya secara baik dan benar dalam perkembangan hidup beragama dalam dunia yang terus menerus berubah dalam sejarah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu Qada dan Qadar?

Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Rububiyah

Kesadaran Manusia yang Kurang Akan Kebersihan Di Semarang